Rabu, 17 Februari 2016

Otaku di kehidupan nyata: sampah masyarakat?



"Kamu suka anime ga?"

Salah satu teman dekat saya sering menanyakan ini saat pertama kali berkenalan. Tergantung jawaban dari orang tersebut, teman saya bisa memutuskan apakah orang ini pantas diajak berteman atau tidak.

Percaya atau tidak, saya agak sensitif dengan pertanyaan tentang anime dari orang yang tidak saya kenal baik. Kalau pertanyaan yang sama dilontarkan oleh orang asing, pasti saya tidak akan memberikan jawaban pasti. Mungkin saya hanya akan merespon dengan singkat.

Di Indonesia sendiri, istilah otaku tidak begitu banyak diketahui orang-orang awam. Masyarakat hanya mengenalnya dengan sebutan 'penyuka anime' atau mungkin 'penyuka kartun'. Saya akui, anime bisa dimasukkan ke dalam kategori kartun, tetapi saya yakin akan ada banyak kimo-ota yang menghujani saya dengan macam-macam hujatan tidak senonoh karena saya mengkategorikan anime dalam perahu yang sama dengan kartun.

Yang kemudian membawa kita ke pertanyaan 'apa itu kimo-ota?'

Sebelumnya mari kita bahas definisi dari otaku itu sendiri. Istilah otaku pada awalnya digunakan sebagai sebutan sopan untuk 'kamu' dalam bahasa Jepang. Tetapi lama kelamaan, istilah ini digunakan sebagai sebutan bagi saudara-saudari kita di luar sana yang memiliki obsesi berlebih untuk sesuatu hal.

Sebutan otaku sendiri tidak terbatas pada penyuka animanga saja. Orang-orang penyuka cosplay, penyuka kereta api atau yang terobsesi dengan idol (yang juga kita kenal dengan sebutan wota) juga bisa kita sebut otaku.

Kembali ke kata kimo-ota. Di dalam istilah otaku itu sendiri, beberapa saudara-saudari kita termasuk dalam kategori ini. Untuk definisinya, bisa dibilang kimo-ota adalah stereotip otaku dengan tingkat hirarki terendah. Mereka cenderung membawa semua hal-hal negatif yang dapat ditemukan di sebagian sisi gelap para otaku. Para hikikomori atau NEET bisa kita kategorikan di sini. Mereka jarang memperhatikan kebersihan mereka sendiri, pengangguran, bahkan ada yang cenderung bisa menjadi stalker.

Masih ingat dengan si mas ganteng ini?

Tsutomu Miyazaki.jpg
Tsutomu Miyazaki
Kita bisa menyebutnya sebagai salah satu contoh nyata kimo-ota. Buat kalian yang belum tau, Miyazaki dikenal juga dengan sebutan "The Otaku Murderer". Alasannya?

Membunuh 4 orang anak perempuan, kemudian ia melecehkan mayat-mayat mereka. Salah satu tangan anak perempuan yang dibunuhnya bahkan dimakan.

Kanibal? Mungkin. Psikopat? Bisa jadi. Serial-killer? Iya.

Lalu apa yang membuatnya dipanggil "The Otaku Murderer"? Apa hubungan seorang otaku dengan tragedi berdarah ini?

Usut punya usut, polisi yang menginvestigasi kasus ini menemukan beberapa CD film horor gore dan video-video sadis lain di apartemennya. Beberapa di antaranya adalah anime.

Dan disinilah anime dijadikan sebagai kambing hitam. Media massa dengan kejam mempersalahkan anime sebagai alasan Miyazaki bisa melakukan itu semua. Seakan belum cukup dengan pembunuhan yang dilakukan Miyazaki yang membuat nama otaku makin tercemar, media makin menyebarkan segala hal yang negatif tentang para otaku, yang membuat tingkat hirarki dan pamor saudara-saudari kita di luar sana makin terpuruk.

Tiba-tiba saja para otaku dipandang sebagai sampah. Para riajuu (sebutan untuk orang bukan otaku) memandang hobi mengoleksi figurin atau poster-poster terlarang dan tabu. Pandangan jijik akan kita terima apabila kita berkeliaran di jalanan sambil membawa kantong kertas dengan foto Umi Sonoda terpampang jelas di sana. Mereka akan memandang aneh kita yang bersemangat menenteng doujinshi melenceng dari Comiket.

Otaku Ini Kencan Dengan Dakimakuranya, di Dalam Kereta
Perlu keberanian ekstra bagi dia yang membawa waifu-nya berjalan-jalan seperti orang ini (source: jurnalotaku.com)

otaku pendapat jepang (4)
Bajunya bagus mas (source: jurnalotaku.com)

Dan meskipun kasus ini sudah lama ditutup -karena pada akhirnya Miyazaki dieksekusi mati, tetap saja ada beberapa orang yang masih menganggap para otaku adalah sampah masyarakat. Sampai sekarang.

Kalau saja tidak ada orang gila seperti Miyazaki. Kalau saja media massa tidak mengkritik para otaku dengan begitu pedas. Kalau saja tidak ada om-om mesum yang memiliki ketertarikan seksual terhadap karakter moe atau loli. Kemungkinan besar para otaku masih bisa menikmati hobi mereka tanpa perlu takut dicaci maki orang.

Mungkin.

Jadi tolong jangan bilang kalian adalah seorang otaku di Jepang secara terang-terangan. Itu adalah kelakuan yang sangat salah, dan jangan lakukan kalau kalian mau dicap orang aneh dan membuat hari kalian berantakan.

Just don't.


-18 Februari 2016

Tidak ada komentar:

Posting Komentar